Denis Murphy, Ketua Komite Penasihat Biologi Dewan Kelapa Sawit Malaysia, menyatakan bahwa negara kami tengah dalam kondisi perang dan menyarankan agar menyerah kepada Uni Eropa dan para LSM-nya. Pernyataan kekalahan itu merupakan respons khas akademisi yang tinggal di menara gading. Komentar yang disampaikan pada Kuliah Memorial Tan Sri B C Sekhar kelima di Malaysia, menggerakkan reaksi politik dan industri di seluruh wilayah.
Dr Murphy gagal mengenali industri Malaysia, seperti rekan-rekan mereka dari Indonesia dan India, yang telah sampai pada titik ini terlebih dahulu. India mengakui ancaman LSM asing dan melarang mereka, Indonesia mendapat peringatan keras dari kelompok LSM asing, tampaknya strategi Dr Murphy gagal mengenali ancaman ekonomi yang ditimbulkan kelompok ini.

Mari kita perhatikan tiga aspek artikel yang mengutip ahli asing ini: Pertama, warga negara kita, kedua, ekonomi kita, dan terakhir, agenda LSM asing. Karena itulah yang diusulkan oleh pihak akademisi.
Mari kita mulai dengan ekonomi. Faktanya adalah LSM asing membebani ekonomi Malaysia dan menimbulkan kerugian 3-4 persen PDB per tahun sebagai akibat dari kampanye mereka. Dengan adanya larangan Uni Eropa, kerugian tumbuh sebagai akibat dari meningkatnya intensitas kampanye anti-Malaysia oleh LSM yang dirasakan rakyat kita dan ekonominya. Namun, di samping gambaran globalnya, kita melupakan dampaknya pada petani kecil. Bisakah petani kecil mendapat harga pantas untuk produk yang mereka hasilkan? Jawabannya adalah tidak. Berbagai skema Fairtrade, garis depan WWF dan Greenpeace adalah kegagalan ekonomi yang besar.
Perbandingan dengan kopi “premium” yang menciptakan sejenis minyak kelapa sawit “premium” ajaib, yang merupakan narasi WWF tersembunyi, merupakan kegagalan lain. Kopi adalah komoditas pribadi dan individualistis, sedangkan minyak kelapa untuk pengolahan makanan. Konsumen tidak pergi ke toko besar dan membeli minyak sawit premium untuk diminum, tetapi barang yang mengandung minyak sawit.
Premis menciptakan minyak sawit “premium” untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, adalah narasi WWF dan telah gagal. Baik pasar maupun konsumen tidak mampu membayar biaya yang lebih tinggi. Studi yang banyak dikutip oleh LSM yang mengklaim konsumen bersedia membayar lebih mahal tidak lulus peer review yang kritis. Biaya yang lebih tinggi yang disebabkan oleh gerakan hijau justru harus dibayar oleh konsumen. Mari kita perjelas. Kita semua membayar untuk neo-sosialis, milenialisme nihilis.
Lebih dari sekali, jika dibaca secara kritis, studi ini tidak lebih dari makalah yang diterbitkan atas perintah LSM. Suara kritis yang terkenal dari gerakan LSM pernah berkata:
“Tiga gerakan politik utama di abad ke 19 dan 20 adalah kreasi Jerman, Sosialis Nasional, Komunis, dan gerakan hijau Jerman. Dua dari mereka gagal, mengapa kita berpikir yang ketiga akan berhasil?”
Usaha LSM mengupayakan ketenteraman belum berhasil. Seperti kegagalan pada 1933 ketika berhadapan dengan ideologi pemusnahan, pemikiran bunuh diri sosialisme nasional, penolakan juga tidak berhasil menentang komunisme, mengapa akademisi bersedia bekerja sama dengan gerakan ideologi Hijau yang menganut komunisme, neo-sosialisme, ekstremis milenialisme, yang mengklaim dunia akan berakhir dalam 12 tahun, atau narasi gila lainnya hanya karena cap hijau?
Banyak pemerintah telah mengekspos gerakan hijau dan aksi langsung mereka mempersenjatai LSM sebagaimana adanya. Aktor subversif dan suka menghasut dan mengacaukan komunitas, didanai dengan baik dengan motivasi ideologis yang dipertanyakan. Apa yang telah dicapai oleh LSM dalam beberapa dekade terakhir yang bermanfaat bagi masyarakat atau membuat hidup lebih baik bagi orang Asia? Jawabannya, tidak ada.
Industri ini mengalami reformasi, tetapi tidak dengan mengorbankan penerimaan intervensi asing di bawah mantra neo-komunisme yang diragukan. Gagasan bahwa orang Asia harus tunduk pada kehendak Uni Eropa didasarkan pada narasi yang dipromosikan oleh kelompok-kelompok seperti WWF, Aliansi Pemanfaatan Lahan dan Iklim yang menghabiskan dana hingga miliaran rupiah, melawan perusahaan Malaysia dan Indonesia, adalah menakutkan, walaupun dipromosikan oleh akademisi yang dihormati.
Jika ada, hilangnya daya saing global perusahaan minyak sawit Indonesia harus menjadi peringatan yang mengerikan bagi pemerintah Malaysia. Industri membayar harga untuk pemerintahan Najib sebelumnya. IOI telah mempelajari cara yang sulit ini meskipun ada peringatan dari LSM asing, perusahaan membayar harga yang mengerikan di pasaran. Warga Malaysia perlu memahami LSM asing, terlepas dari spanduk mereka, dan narasi mereka mengejar kebijakan luar negeri dalam hubungan simbiotik antara kebijakan UE dan agenda LSM.
Respons pemerintah India terhadap ancaman LSM adalah tanggapan yang tepat. Sekarang timbul pertanyaan: jika tidak menguntungkan masyarakat, tidak menguntungkan secara ekonomi, tidak menguntungkan pemerintah, mengapa kita mempromosikan ideologi LSM? Apakah biaya yang harus kami bayarkan akan turun? Apakah konsumen akan mendapat manfaat? Apakah produk akan lebih murah dan lebih baik? Akankah masyarakat menjadi lebih baik? Jawabannya secara kritis, tidak bias, dan jujur adalah TIDAK.
Perang. Kata yang berbahaya dan bermakna dalam. Ini menunjukkan eskalasi; menunjukkan konflik dan kekalahan dan kemenangan. Mudah terjerumus, sukar dipahami, dan bahkan sulit untuk berhenti. Karena klaim akademis kita sedang berperang, mari kita lakukan perang yang belum dimulai. Jadi, apakah kita berperang? Ya, kita sedang berperang.
Ini adalah perang ideologi yang mengingatkan pada keadaan darurat Malaysia di Asia, dan meskipun ada klaim-klaim berlebihan, LSM adalah pelaksana perang itu. Perang melawan orang-orang kita, bisnis kita, keluarga kita, dan masa depan kita. Ini adalah perang untuk memaksa kita mengadopsi gaya hidup yang tidak berbeda dengan Negara Islam, yang memaksa kita untuk menerima narasi mereka yang menyembunyikan ideologi lama dan tidak relevan, tetapi berhasil dikemas ulang. Saran-saran ini harus diperiksa secara kritis. Harus diselidiki dan harus dilawan. Terlepas dari teriakan yang dibuat oleh mesin berita palsu. Jika kita berperang, kita harus menang perang.
Solusinya? Sudah saatnya Malaysia, Indonesia, dan negara-negara ASEAN lain yang menjadi target diajak untuk mengenali ancaman yang ditimbulkan narasi ini terhadap keamanan ekonomi nasional masing-masing negara. India, dan banyak negara lain melakukannya dengan benar, LSM dan penyandang dana mereka berperang dengan kami. Solusinya sederhana: menuntut pasukan yang berperang melawan negara. Tuntut LSM asing yang melanggar hak istimewa untuk berada di Malaysia. Mengakui ancaman yang ditimbulkan LSM terhadap keamanan ekonomi Malaysia. Titik.