Jumlah kasus kematian gajah memang berkurang pada tahun 2017. Akan tetapi, potensi kematian yang diakibatkan oleh manusia masih menjadi ancaman serius berkurangnya mamalia dari familia Elephantidae ini. Perburuan liar dan pembukaan lahan masih menjadi momok bagi keberlangsungan hidup hewan ini di Indonesia.
Wisnu Soemantoro, peneliti gajah sumatera dari World Wildlife Fund (WWF) mengatakan pada tahun 2017 ada dua kasus besar pembunuhan gajah yang menjadi perhatian publik. Keduanya terjadi di derah Sabah, Aceh.
“Dua kasus besar memang menjadi sorotan pada tahun 2017. Akan tetapi 5 lainnya luput. Di Tarakan, ada 5 kasus peredaran gading gajah sedangkan di Nunukan ada 1 kasus,” Jelas Wisnu, saat dihubungi Trubus.id melalui telepon, Senin (8/1).
Menurutnya, kematian gajah pada tahun 2017 akibat perburuan liar memang turun jika dibandingkan kasus serupa pada tahun 2013 hingga 2015. Pada tahun 2013, ada 33 ekor gajah yang mati. Sementara pada tahun 2014, ada 46 ekor gajah mati dan menurun menjadi 40 ekor pada tahun 2015.
Akan tetapi, jangan dianggap jika potensi perburuan liar gajah pada tahun 2018 melemah. Selama ini, kematian hewan itu selalu diikuti dengan hilangnya gading gajah. Selain permintaan gading gajah yang masih tinggi, perlindungan hukum konservasi di Indonesia juga belum maksimal. Hukuman yang diterima untuk kasus perburuan tidak membuat pelakunya jera.
“Biasanya, pembunuhan gajah menumpang dengan beragam isu konflik antara manusia dengan gajah untuk menutupi modus perburuan. Para pelaku biasanya menggunakan racun. Namun di beberapa tempat, seperti Aceh dan Riau, pelaku mulai menggunakan senjata api rakitan,” tambahnya.
Dari sekian banyak satwa yang berstatus punah, gajah sumatera (Elephas maximus) paling mengenaskan. The International Union for Conservation of Nature (IUCN) menaikkan status gajah sumatera, yang tadinya Endangered menjadi Critically Endangered. Dengan kata lain, status gajah sumatera saat ini adalah terancam punah.