Pemerintah bersama DPR menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan, yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis untuk periode 2015-2019. Kedua lembaga terus melakukan konsinyering membahas daftar inventaris masalah (DIM).
“Mulai ada penyamaan persepsi antara pemerintah dan DPR,” kata Yagus Suyadi, Kepala Bagian Perundang-undangan Biro Hukum dan Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dalam dialog publik di Jakarta, pertengahan Oktober lalu.
Baik pemerintah maupun DPR, katanya, menilai RUU Pertanahan penting untuk mengatasi masalah ketimpangan penguasaan tanah. Substansinya, kata Yagus, penguatan hak menguasai oleh negara dipertegas dan diperjelas dalam RUU ini.
“RUU Pertanahan sebagai pelengkap UUPA [Undang-Undang tentang Pokok Agraria-Red] yang mengatur lebih rinci tentang permasalahan agraria atau pertanahan sesuai kebutuhan bangsa, negara, dan masyarakat,” katanya.
Kementerian ATR/BPN dalam RUU ini berpandangan bahwa pemegang hak guna usaha (HGU) harus berkontribusi 20% bagi kesejahteraan di masyarakat sekitarnya. RUU ini juga mengatur pembangunan infrastruktur pertanahan, termasuk data status dan aset tanah di seluruh Indonesia.
Soal reforma agraria, katanya, pemerintah akan menetapkan kawasan yang tidak diatur oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) lewat distribusi dan konsolidasi tanah. Objek reforma agraria yang biasa jadi kuasa pengembang akan dibagikan kepada masyarakat demi kesejahteraan bersama.
Lebih lanjut diungkapkan, RUU Pertanahan menegaskan pemerintah wajib mendaftarkan seluruh tanah di Indonesia, termasuk tanah hak, ulayat, wakaf, dan kawasan yang dikuasai, dimiliki atau dimanfaatkan perseorangan, kelompok masyarakat, badan hukum, instansi pemerintah.
Masih Ada Ego Sektoral
Diungkapkan staf ahli Komisi II DPR, Jhonsar Lumbantoruan, masih ada ego sektoral dalam pembahasan RUU Pertanahan ini. Dia mencontohkan, DPR mengusulkan pembatasan luas penggunaan hak guna bangunan (HGB) dan HGU.
Usulan DPR, HGU dibatasi hanya seluas 50.000 hektare, termasuk untuk anak perusahaan dalam satu grup. Pemerintah, katanya, masih menolak pembatasan itu ada dalam UU. Bagi pemerintah, sebaiknya luasan HGU diatur dalam Peraturan Pemerintah (Perppu) dengan alasan keperluan tanah untuk masyarakat dan perusahaan sangat situasional.
Persoalan lain yang masih terus dibahas adalah bank tanah. Baik DPR dan pemerintah menilai perlu ada lembaga yang mengatur mengenai tanah telantar, untuk menghindari para spekulan tanah. “Supaya tak ada tanah ditumpuk. Dikuasai, tetapi tidak diusahakan,” kata Jhonsar.
Dalam pembahasan juga muncul usulan membuat peradilan khusus untuk kasus pertanahan. Pertimbangannya, dalam peradilan umum seringkali sengketa dimenangi pemilik modal. “Yang kuat yang dimenangkan,” katanya.
Namun, usulan tersebut masih terkendala putusan Mahkamah Agung (MA), yang menilai peradilan tanah tak perlu. Selain sukar menemukan hakim yang kompeten, secara kelembagaan akan sulit membangun peradilan tanah.
Persoalan lain yang jadi perhatian dalam RUU adalah tanah adat. Selain mendorong UU Masyarakat Adat, pembahasan dalam RUU Pertanahan menyangkut definisi masyarakat adat. Saat ini pemerintah belum tegas menentukan kategori masyarakat adat. Selain harus ada aturan mengikat soal kategori masyarakat adat, jadi perdebatan juga bagaimana pengelolaan tanah dan hak masyarakat adat dalam UU ini nantinya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan, Herman Khaeron, menilai bahwa UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang berlaku saat ini tidak mengakomodasi kondisi yang sudah banyak berubah di masyarakat. RUU Pertanahan akan disusun bersifat lex specialis, sebagai komplementasi untuk melengkapi UUPA.
“Kami menganggap UUPA terlalu umum sehingga harus ada UU yang lebih spesial. UUPA tetap ada sebagai lex generalis. Kemudian lex spesialis-nya adalah RUU Pertanahan ini,” kata Herman, saat menjadi narasumber pada Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mengkritisi RUU Pertanahan” di Gedung Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis (21/2/2019).
Menteri ATR/BPN, Sofyan A. Djalil, telah menyerahkan DIM RUU tentang Pertanahan pada akhir 2017. Menurutnya, usulan dalam DIM ini dimaksudkan agar RUU Pertanahan dapat menjadi piranti social engineering yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat serta mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi semua warga negara.
“RUU Pertanahan juga sebagai omnibus law, harus dapat menjembatani harmonisasi beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur soal tanah,” tuturnya.
Pelaksanaan reforma agraria wajib diinformasikan kepada masyarakat dengan cara yang mudah diakses atau terjangkau dan dipahami masyarakat, termasuk masyarakat marjinal. Untuk perolehan tanah demi kepentingan umum dan pengalihfungsian tanah, semua pihak juga wajib melakukan pengkajian dampak lingkungan dan sosial yang mungkin timbul. Muaranya tentu untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat.