Siklon Cempaka yang beberapa hari lalu sempat menyerang wilayah selatan Pulau Jawa masih menyisakan beberapa kerusakan. Salah satu dampak akibat siklon tersebut adalah munculnya danau di daerah Gunung Agung dan menimbulkan pertanyaan atas penyebabnya.
Salah satu pakar geologi Edy Sunardi mengatakan, hal tersebut lumrah terjadi akibat kondisi lingkungan di wilayah Gunung Kidul. Daerah Gunung Kidul sampai ke arah selatan ke pegunungan Sewu, mengarah ke laut pantai selatan dan dalam Geologi dikenal dengan morfologi karst yang isinya batu gamping semua.
“Jadi, itu sudah berlangsung lama prosesnya. Proses pengangkatan pegunungan dan proses pengikisan. Pada saat pengangkatan terjadi, maka banyak retakan muncul. Nah retakan-retakan ini diisi oleh air hujan yang kalau terkena batu gamping biasanya dia akan larut lama-kelamaan dan terbentuk lubang-lubang,” ujar Edy Sunardi saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (8/12).
Proses tersebut, dikatakan oleh salah satu dosen Universitas Padjajaran (Unpad) ini, berlangsung sudah selama jutaan tahun. Kata dia, biasanya air hujan yang masuk ke kompleks pegunungan sewu termasuk gunung kidul ini akan terus mengikis dan terhubung ke laut. “Hal itulah yang kemudian disebut dengan sungai bawah tanah,” ujarnya.
Kaitannya dengan siklon cempaka, Edi mengatakan, volume air laut menjadi naik akibat siklon yang terjadi entah dalam hitungan menit atau jam. Dan kondisi air di sungai bawah permukaan tanah yang harusnya bisa mengalir ke laut, akhirnya menjadi tertahan untuk sementara karena laut yang pasang.
“Jadi artinya permukaan air laut naik, maka air sungai bawah permukaan itu jadi terhambat, tidak mengalir, jadilah banjir dan ditambah dengan hujan yang ada. Volume air hujan yang ada kan juga besar. Tapi kalau volume air laut tidak naik, itu tidak akan terjadi walaupun hujan besar datang karena sungai dibawah terus mengalir ke arah laut,”ujar salah satu Guru Besar Unpad tersebut.
Kejadian seperti ini lumrah terjadi karena batu gamping yang ada sudah mengalami keretakan dan mudah larut jadilah dolina atau sinkhole. Salah satu negara yang pernah mengalami kejadian serupa adalah Florida Peninsula.
Edy kemudian berkata kondisi seperti ini tidak akan berlangsung lama atau hanya sementara. Karena ketika aliran sungai di bawah permukaan tanah telah kembali seperti normal tanpa ada penyumbayan akibat naiknya volume air laut, maka air yang tertahan perlahan akan kembali mengalir dan air di danau dadakan tersebut habis seperti sedia kala.
Dirinya juga mengarakan, ketika masyarakat sudah mengetahui mengenai fenomena ini, hal kemudian yang harus dilakukan adalah memahami konsep lingkungannya. Karena dikhawatirkan banyak kontaminasi terjadi dari pupuk yang terlarut dari sawah yang terendam. Dikhawatirkan hal tersebut merusak air yang ada.
“Daerah itu saya rasa harus dikonservasi dulu supaya ada penelitian dulu. Nanti itu kaitannya dengan ketersediaan air tanah, air minum kedepannya. Jadi jangan sampai rusak lingkungannya,” ucap dosen Unpad ini.
Edy merasa harus dilakukan sebuah penelitian di daerah itu. Contohnya yang perlu diperhatikan adalah jika air laut masuk ke sungai-sungai yang berada dibawah permukaan, maka akan terjadi mix di sana. Jika airnya terkontaminasi, maka tidak menutup kemungkinan lingkungan bisa rusak.
“Kondisi lingkungan disana nantinya bisa merubah pola hydrogeologinya. Ada hubungan antara sungai di bawah permukaan dengan kondisi air laut. Kualitas air disana perlu diteliti juga,” ujar Edy.