Ekspor crude palm oil (CPO) alias minyak sawit mentah Indonesia terus dipersoalkan. Parlemen Uni Eropa (UE) bahkan berencana mengeluarkan CPO dari kelompok energi hijau dan berkelanjutan. Ujungnya, tak lain adalah pengenaan tarif harmonisasi yang membuat produk CPO kian mahal.
Namun, di tengah kampanye hitam yang dilancarkan, publik kadung mengetahui bahwa tindakan itu semata terkait masalah bisnis semata. Toh isu lingkungan yang gencar digunakan untuk menyerang sebenarnya telah mendapatkan jawabannya berulang-ulang: CPO adalah minyak nabati yang paling efisien dan memenuhi unsur keberlanjutan.
Menyadari hal ini, negara-negara dewan sawit internasional, yang kini diketuai Malaysia, melakukan pertemuan di Jakarta akhir Februari lalu. Tujuannya memilih utusan untuk berangkat ke Eropa demi negosiasi lebih lanjut serta mencari langkah antisipasi atas hasil perundingan nantinya.
Sudah menjadi rahasia umum, para pedagang sawit Asia memimpin pasar minyak nabati internasional. Dipimpin Indonesia, negara-negara Asia menyumbang nilai tertinggi minyak sawit yang diekspor selama 2017 dengan pengiriman senilai US$ 28,6 miliar atau 85,9% dari total global.
Di tempat kedua adalah eksportir Eropa sebesar 6,7%, sedangkan 4,9% dari Karibia dan negara-negara Amerika Latin, tidak termasuk Meksiko. Persentase yang lebih kecil berasal dari negara-negara Oceania (1,6%) dipimpin Papua Nugini, Afrika (0,6%), Amerika Utara (0,3%).
Dari peta pasar inilah kondisi turbulensi di pasar CPO terbaca. Apalagi ketika harga CPO anjlok yang kian memperkuat nuansa persaingan dagang. Harga komoditas unggulan agrikultur Malaysia dan Indonesia ini pernah anjlok hingga dekati level terendahnya dalam tiga tahun terakhir. Ini terjadi pada 27 November 2018.
Tekanan Internal dan Eksternal
Para analis mengatakan, jatuh dalamnya harga CPO tidak hanya karena tekanan internal berupa keluarnya peraturan baru terkait pungutan ekspor serta ekspektasi meningkatnya stok di Malaysia. Ada juga ancaman eksternal, yakni larangan masuk ke Eropa dan Amerika Serikat (AS). Yang menarik, larangan ini terjadi berbarengan dengan turunnya harga minyak kedelai di AS.
Tak salah bila kemudian Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, akhirnya menerbitkan aturan terbaru tarif pungutan ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) atas ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.152/PMK.05/2018 yang berlaku sejak 4 Desember 2018 itu, pemerintah menolkan (US$ 0/ton) seluruh tarif pungutan ekspor bila harga CPO internasional berada di bawah US$ 570/ton (sekitar MYR 2.365/ton).
Jika harga berada di kisaran US$ 570-619/ton (MYR 2.365-2.570/ton), pungutan ekspor CPO menjadi US$ 25/ton. Bila harga internasional sudah kembali normal di atas US$ 619/ton (MYR 2.570/ton), pungutan ekspor CPO kembali ditetapkan US$ 50/ton.
Dengan adanya pembebasan pungutan ekspor, produsen CPO di Tanah Air bisa berada di posisi yang lebih menguntungkan ketimbang produsen di Malaysia. Alhasil, situasi ini berpotensi membuat ekspor CPO Malaysia semakin tertekan.
Langkah ini harus dilakukan, semata demi pengendalian pasokan dengan tujuan akhir, harga jual yang lebih baik. Seperti diketahui, harga CPO dipengaruhi pergerakan harga minyak nabati lainnya, seiring persaingan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai turun, kecenderungannya harga CPO akan ikut melemah.
Inilah mengapa Ministerial Meeting Of Council Of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) dilaksanakan di Jakarta, akhir Februari lalu. Pertemuan ini dihadiri oleh Menteri Industri Utama Malaysia, Teresa Kok, dan Kementerian Pertanian Kolombia diwakili oleh Felipe Fonseca Fino selaku Direktur Unit Perencanaan Pertanian dan Pedesaan.
Pertemuan Aliansi
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengungkapkan bahwa para menteri negara produsen kelapa sawit yang hadir sepakat untuk bersama-sama menanggapi langkah diskriminatif yang muncul dari rancangan peraturan Komisi Eropa atau UE, yaitu Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU Renewable Energy Directive ll.
“Para menteri memandang rancangan peraturan ini sebagai kompromi politis di internal UE yang bertujuan mengisolasi dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel UE yang menguntungkan minyak nabati lainnya, termasuk rapeseed yang diproduksi UE,” katanya.
Pernyataan Darmin tersebut mengingatkan publik kembali pada peta pasar minyak nabati global. Produsen CPO yang kebanyakan dari Asia dan Amerika Selatan-lah yang mendominasi pasar.
Darmin menegaskan, rancangan peraturan tersebut bertujuan membatasi dan secara efektif melarang penggunaan biofuel berbasis kelapa sawit di UE melalui konsep Indirect Land Use Change (ILUC) yang secara ilmiah dipertanyakan. Kriteria yang digunakan dalam rancangan peraturan tersebut secara langsung difokuskan pada minyak kelapa sawit dan deforestasi, tidak berupaya memasukkan masalah terkait lingkungan, termasuk pengolahan lahan sumber minyak nabati lainnya seperti rapeseed.
“Lebih lanjut, konsep ILUC bukan hanya merupakan instrumen unilateral yang ditujukan untuk menyerang negara produsen minyak kelapa sawit dalam rangka pencapaian SDGs, tetapi juga menghambat semua biofuel yang diproduksi negara produsen kelapa sawit (tidak hanya yang diekspor ke Eropa). Konsep ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara. Dalam kaitan ini, para menteri sepakat melakukan Joint Mission ke Eropa untuk menyuarakan isu ini kepada otoritas terkait di Eropa,” tutur Darmin.
Para menteri juga sepakat untuk terus menentang rancangan peraturan tersebut melalui konsultasi bilateral, ASEAN, WTO, dan forum lain yang tepat. Pada saat yang sama, negara-negara produsen kelapa sawit tetap terbuka untuk melakukan dialog terkait lingkungan dengan UE dalam kerangka SDGs 2030, yang telah diterima secara luas oleh seluruh anggota PBB.
Pertemuan juga menyepakati untuk terus berkolaborasi dengan organisasi multilateral, khususnya UNEP dan FAO guna meningkatkan kontribusi minyak kelapa sawit terhadap pencapaian SDGs 2030. Pembahasan juga menyangkut peran petani kecil.
“Para menteri menyambut baik upaya-upaya CPOPC dalam menyampaikan keprihatinan mereka tentang minyak kelapa sawit dan keamanan pangan, khususnya 3-MCPD dan GE. Pertemuan menyepakati pula posisi bersama untuk menggunakan satu batas maksimum 3-MCPD dan GE bagi semua minyak pangan dan lemak,” ujarnya.
3-MCPD dan GE adalah bahan Tri Mono Chlori Propane dan Glycidyl Esters yang terkandung dalam minyak sawit. Codex Alimentarius Commission (CAC), badan PBB yang mengurusi standar makanan, telah melakukan kajian terkait kontaminasi tersebut. 3-MCPD dan GE tergolong karsiogenik yang memicu sel kanker pada ambang batas tertentu, dan minyak sawit jauh melebihi ambang batas tersebut.
Indonesia, Malaysia, dan Kolombia memang tidak main-main dengan masalah hambatan dagang dari UE. Padahal, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), volume ekspor CPO dan turunannya (oleochemical dan biodiesel) sepanjang Januari 2019 mencapai 3,25 juta ton, tumbuh 4% dibandingkan dengan Desember 2018 yang sebesar 3,13 juta ton. Ini berarti ketiga negara ingin menyelesaikan persoalan ini secara tuntas.
Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono, menyatakan bahwa dari total realisasi ekspor, CPO menyumbang 746,06 ribu ton atau sekitar 23%. Sisanya, 77%, merupakan gabungan dari produk turunan atau olahan CPO.
Data Gapki menunjukkan keberhasilan diversifikasi pasar CPO. Pada Januari, Gapki mencatat ekspor ke benua Afrika sebesar 315,91 ribu ton, melonjak signifikan hingga 74% dibandingkan dengan Desember tahun lalu yang tercatat 181,84 ribu ton. Peningkatan ekspor diikuti Bangladesh yang tumbuh 43%, AS 26%, Timur Tengah 13%, dan India 9%.
Selain peningkatan ekspor, Mukti menyebutkan terjadi penurunan ekspor tiga pasar utama pada Januari. Persentase penurunan ekspor terbesar terjadi pada pasar Pakistan yang merosot sebesar 8,5% menjadi 265,49 ribu ton dari 290,26 ribu pada Desember 2018. Pada periode yang sama, UE juga menurun 4% dan Cina 3%.
Meski demikian, harga sawit global mulai membaik dengan kenaikan harga rata-rata di kisaran US$ 530,7 per ton per Januari. Harga ini lebih baik daripada bulan sebelumnya yang masih berada di kisaran US$ 490,5 per ton.
Banyak pihak menilai bahwa keberhasilan ini juga tak lepas dari penerapan program mandatori sawit B20 yang diawali Indonesia, kemudian diikuti Malaysia. Indonesia bahkan menargetkan memulai program B100 secara bertahap pada tiga bulan mendatang, diawali percobaan B50 bagi sektor transportasi, hingga pengembangan kilang khusus bagi B100.
Di Indonesia, penjualan global dari ekspor minyak kelapa sawit mencapai US$ 33,3 miliar pada 2017. Dari 15 negara pengekspor, Indonesia memimpin dengan US$ 18,5 miliar (55,5% dari minyak sawit yang diekspor), diikuti Malaysia US$ 9,7 miliar (29%), Belanda US$ 1,4 miliar (4,1%), Papua Nugini US$ 512,8 juta (1,5%), Guatemala US$ 446,5 juta (1,3%). Berikutnya Kolombia US$ 381,7 juta (1,1%), Jerman US$ 343,4 juta (1%), Honduras US$ 335,8 juta (1%), Thailand US$ 216,7 juta (0,6%), Ekuador US$ 208,3 juta (0,6%), Italia US$ 129,2 juta (0,4%), Kosta Rika US$ 119,1 juta (0,4%), Denmark US$ 113,6 juta (0,3%), AS US$ 98,5 juta (0,3%), serta Uni Emirat Arab US$ 71,2 juta (0,2%)
Ke-15 negara tersebut mengekspor 97,5% minyak sawit global pada 2017 berdasarkan nilai. Di antara negara-negara di atas, pengekspor minyak sawit dengan pertumbuhan tercepat sejak 2013 adalah Kolombia (naik 111,4%), Italia (106,9%), Uni Emirat Arab (84,5%), dan Denmark (73,3%). Sementara itu, negara-negara yang mengalami penurunan penjualan minyak kelapa sawit yang diekspor dipimpin Thailand (turun -50%), Malaysia (-21,4%), Kosta Rika (-20,6%), Belanda (-17,4%) dan Jerman (-11,3%).
Dengan keberadaan dua negara UE dalam daftar negara dengan pertumbuhan ekspor CPO negatif, adalah wajar bila muncul persepsi publik terkait perang dagang. Apalagi, suara Jerman dan Belanda sangat berpengaruh di parlemen UE.