Serangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan lokal maupun internasional bagi dunia usaha Indonesia kian membabi buta. Tak hanya sektor retail, lahan bisnis yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti sektor listrik pun tak luput dari gencarnya kampanye negatif.
Sadar bahwa isu lingkungan menjadi “seksi” untuk menghambat laju pembangunan, pemerintah Indonesia mengambil ancang-ancang menerbitkan surat utang berwawasan lingkungan (green bond) dan surat utang syariah berwawasan lingkungan (green sukuk) di pasar domestik. Pemerintah optimistis penerbitan dua jenis surat utang tersebut akan disambut baik oleh pasar. Sebelumnya pemerintah menerbitkan green sukuk pertama di pasar global pada 22 Februari 2018.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemkeu) saat ini tengah mengatur strategi untuk kembali meluncurkan green bond dan green sukuk di pasar modal. Penerbitan green bond dan green sukuk merupakan bentuk pembiayaan inovatif pemerintah untuk menanggulangi perubahan iklim.
“Penanggulangan perubahan iklim dan pengurangan emisi global 2013 memerlukan asupan kapital sebesar US$ 50 miliar. Pemasukan pemerintah lewat pajak, pinjaman bilateral dan partners, tidak akan mencukupi,” kata salah seorang pejabat Kemenkeu.
Yang menjadi pertanyaan publik, mengapa rencana penerbitan obligasi hijau itu terjadi ketika tingkat imbal hasil surat utang Indonesia berada pada posisi lumayan tinggi? Terutama untuk surat utang bertenor 10 tahun yang punya level imbal hasil sebesar 7%, bahkan pernah lebih.
Berdekatan dengan itu pula, Indonesia kini tengah bersiap menghelat pertemuan rutin tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Sebuah pertemuan yang oleh sebagian besar masyarakat dikatakan penuh dengan aroma “tekanan halus” untuk Indonesia.
Sementara itu, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencoba berdalih bahwa tren green bond tengah meningkat. Tak kurang dari 39 potensi investor global siap mendanai green bond negara, di antaranya Aberdeen Asset Management, WWF-Sweden, Ikea Group, dan Blackrock. Tahun lalu, emisi green bond di pasar global mencapai rekor US$ 155,5 miliar, meningkat 78% dibandingkan dengan nilai emisi 2016 senilai US$ 87,2 miliar.
Ada Apa di Balik kesepakatan?
Adalah wajar jika peminat green bond Indonesia begitu membludak ketika musim suku bunga tinggi seperti sekarang. Jika jadi menerbitkan, tentu dengan tingkat suku bunga yang begitu tinggi, berpotensi menjadikan produk utang Indonesia berikutnya memiliki tingkat suku yang juga lebih tinggi. Termasuk jika Indonesia kembali mendapatkan kucuran utang secara langsung maupun tak langsung, baik dari IMF maupun Bank Dunia.
Tanda-tanda ke arah sana kian menguat ketika publik Tanah Air menyaksikan Bursa Efek Indonesia (BEI) menandatangani kesepakatan kerja sama dengan Climate Bond Initiative atau CBI. BEI bergabung dalam program keanggotaan CBI yang akan mendukung emisi obligasi berwawasan lingkungan atau green bond di Indonesia.
Sebagaimana diketahui publik, CBI merupakan LSM yang berkonsentrasi pada pembangunan rendah karbon. LSM ini mendapatkan sokongan penuh dari Bank Dunia untuk memberikan pinjaman likuiditas segar yang berkaitan dengan pembangunan berwawasan mitigasi perubahan iklim.
Yang menarik, menurut sang CEO, Tito Sulistio, BEI merupakan bursa pertama di Asia Tenggara yang bergabung dalam program keanggotaan CBI. BEI menjadi bursa ke-6 yang bergabung dengan NGO nirlaba tersebut, setelah London Stock Exchange, Luxembourg Green Exchange, Deutsche Börse, Bolsa Mexicana, dan Nasdaq Nordics.
Tito Sulistio mengatakan, CBI akan berperan sebagai lembaga yang memberi rekomendasi dan sertifikasi atas rencana penerbitan green bond di Indonesia. CBI merupakan organisasi nonpemerintahan dan nirlaba sehingga opininya bisa diharapkan lebih independen.
Jadi benarkah rencana penerbitan obligasi hijau yang berpotensi bersuku bunga tinggi tersebut adalah demi “menyenangkan” kreditor internasional? Sampai sekarang belum ada konfirmasi resmi dari pihak-pihak terkait.
Yang pasti, Presiden Bank Dunia, Jim Yong-kim, beberapa waktu lalu mengatakan bahwa organisasi yang ia pimpin akan meningkatkan pinjaman untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah dari waktu ke waktu. Kim membuat pernyataan tersebut sebagai tanggapan atas pertanyaan tentang rencana peningkatan modal US$ 13 miliar untuk Bank Dunia dan praktik-praktik peminjamannya yang akan dibahas selama pertemuan musim semi IMF dan Bank Dunia, pada akhir pekan ini.
Sekitar US$ 7,5 miliar dari peningkatan modal akan diberikan kepada Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD), unit pemberi pinjaman utama kelompok, dan US$ 5,5 miliar akan diberikan kepada International Finance Corporation (IFC), unit pemberi pinjaman untuk sektor swasta kelompok tertentu. Kim mengatakan, peningkatan modal untuk IFC berarti bahwa unit pemberi pinjaman itu akan dapat “berbuat lebih banyak di negara-negara berpenghasilan menengah dan lebih tinggi”. “Jadi hanya untuk memperjelas tentang ini, tidak ada dalam perjanjian yang menargetkan negara tertentu,” katanya.
Para pemegang saham Bank Dunia pun ikut mendukung penambahan modal disetor sebesar US$ 13 miliar, sekitar Rp 180 triliun. Seperti diberitakan Reuters, Minggu (22/4/2018), rencana tersebut akan memungkinkan Bank Dunia untuk memberikan lebih banyak pinjaman menjadi hampir US$ 80 miliar pada tahun fiskal 2019, dari sekitar US$ 59 miliar pada 2017.
Secara rata-rata, pinjaman yang diberikan akan menjadi US$ 100 miliar per tahun hingga 2030. Bank Dunia terakhir kali menambah modalnya pada 2010.34
Potensi banjir likuiditas dari Bank Dunia ini pun semakin memperkuat dugaan sebagian besar khalayak bahwa usaha pemerintah untuk lebih menghijau tak lain merupakan bentuk “partisipasi” Indonesia mengonsumsi produk utang baru yang diluncurkan oleh kreditor multilateral, yang sayangnya berpotensi memiliki tingkat suku bunga yang lumayan “memusingkan”.