Pihak Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat polusi udara di DKI Jakarta mulai berkurang.
Diketahui, polusi udara berkurang di DKI Jakarta sejak diberlakukan perluasan sistem ganjil genap kendaraan di Jakarta, pada Senin (12/8/2019) lalu.
Adapun pengurangan polusi udara di DKI Jakarta saat ini mencapai 18,9 persen dibandingkan sebelumnya.
“Itu angka yang cukup signifikan terhadap perubahan kualitas udara di DKI Jakarta, khususnya di pusat kota,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Andono Warih pada Selasa (20/8/2019).
Berdasarkan data dari Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) Bundaran Hotel Indonesia, tercatat penurunan rata-rata konsentrasi polutan jenis PM 2.5 sebesar 12 ug/m3.
Atau, terjadi penurunan sebesar 18,9 persen dibandingkan pekan sebelum penerapan kebijakan tersebut.
Kemudian di SPKU Kelapa Gading terjadi penurunan konsentrasi partikel debu halus berukuran 2.5 mikron atau PM 2.5 sebesar 7,57 ug/m3.
“Untuk yang di Kelapa Gading terjadi penurunan sebesar 13,51 persen dibandingkan pekan sebelum penerapan perluasan sistem ganjil genap,” ujarnya.
Menurut dia, pemberlakukan sistem ganjil genap ini merupakan tindak lanjut dari Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.
Langkah ini bertujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengendalian kualitas udara melalui perluasan kebijakan ganjil genap di wilayah yang terlayani angkutan umum massal.
“Kebijakan ini akan makin efektif, jika makin banyak warga yang beralih menggunakan transportasi umum massal,” ucapnya.
Motor Penyumbang Polusi Udara Terbanyak
Melansir Kompas.com, RISET terkait pencemaran atau polusi udara sudah dilakukan oleh Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB).
Di antara kesimpulannya adalah sepeda motor penyumbang polutan tertinggi dibanding kendaraan lainnya.
Alhasil, salah sasaran jika kebijakan perluasan ganjil genap di DKI Jakarta mengecualikan sepeda motor, demi menekan polusi udara.
Menurut Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin menjelaskan, angka polutan tertinggi berasal dari motor dengan persentase 44,53 persen, bus 21,43 persen, mobil pribadi 16,11 persen, dan sisanya dari bajaj.
Menurutnya, pemerintah masih setengah hati dalam menekan pencemaran atau polusi udara di Jakarta.
“Jika ganjil genap ingin efektif, jangan ada diskriminatif antara roda dua dengan roda empat, dua-duanya diterapkan saja,” ujar Puput, panggilan akrabnya, di sela-sela diskusi dengan tema ‘Pengendalian Pencemaran Udara Terganjal Kualitas BBM’ di Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Menurutnya, pemerintah belum tegas dalam memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
KPBB sendiri sudah memberikan usulan agar motor dikenakan ganjil genap dan kawasannya menyeluruh di Jakarta.
“Tidak usah khawatir, karena sekarang masyarakat sudah tahu bahwa ada masalah besar dengan pencemaran udara kita,” kata Puput.
Selain itu, KPBB juga mendesak Gubernur DKI Jakarta untuk melarang peredaran bahan bakar berkualitas rendah.
Sebab, bahan bakar dengan kualitas rendah atau oktan rendah juga menyumbang polutan.
“Pencemaran udara makin meningkat di DKI Jakarta, maka gubernur harus melakukan langkah yang sesegera mungkin untuk mengendalikan pencemaran udara”
“antara lain melarang penggunaan bahan bakar yang tidak ramah lingkungan,” tandas Puput.
“Sebab, bahan bakar tersebut akan memicu tingginya emisi dari kendaraan bermotor,” imbuhnya.
Bahan bakar berkualitas rendah yang dimaksud adalah Premium, Pertalite, Solar 48, dan Solar Dexlite.
Bahan bakar tersebut juga tidak sesuai dengan kebutuhan mesin teknologi kendaraan bermotor sekarang ini.
Setengah Hati
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisinya penerapan sistem kendaraan ganjil genap hingga 25 ruas jalan di DKI Jakarta.
Lembaga independen ini juga menilai, kebijakan yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dilakukan setengah hati.
“Jika penerapannya hanya setengah hati, maka perluasan area ganjil genap tak akan efektif menekan kemacetan di Jakarta, dan tak akan mampu menekan tingginya polusi udara di Jakarta,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi berdasarkan keterangan yang diperoleh pada Kamis (15/8/2019).
Menurut Tulus, implementasi ganjil genap ini dianggap setengah hati karena bakal mendorong masyarakat pengguna roda empat untuk berpindah ke sepeda motor.
Sebab, penggunaan sepeda motor tidak dikenakan aturan ganjil genap.
Ditambah, pertumbuhan kepemilikan sepeda motor di Jakarta mencapai lebih dari 1.800 unit per hari, dan makin tingginya penggunaan ojol (ojek online).
“Pengecualian sepeda motor juga akan mengakibatkan polusi di Jakarta kian pekat, makin polutif,” imbuhnya.
Berdasarkan data dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), kata dia, sepeda motor berkontribusi paling signifikan terhadap polusi udara, yakni: kandungan 19.165 ton polutan/hari di Jakarta bersumber dari:
– sepeda motor sebesar 44,53 persen,
– mobil sebesar 16,11 persen,
– bus sebesar 21,43 persen,
– truk sebesar 17,7 persen,
– dan bajaj sebesar 0,23 persen.
Dia menambahkan, wacana pengecualian taksi online juga merupakan langkah kemunduran, bahkan merupakan bentuk inkonsistensi.
Pengecualian ini akan memicu masyarakat berpindah ke taksi online dan upaya mendorong masyarakat berpindah ke angkutan masal seperti Transjakarta, MRT, KRL/Commuter Line diprediksi akan gagal.
“Upaya menekan polusi udara juga akan gagal manakala kendaraan di Jakarta masih gandrung menggunakan bahan bakar (BBM) dengan kualitas rendah”
“seperti jenis bensin premium dan atau bahan bakar dengan kandungan sulfur yang masih tinggi,” ucapnya.