Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah memutuskan hubungan kerja sama kehutanan dengan WWF Indonesia. Terhitung sejak 5 Oktober 2019, kerja sama yang dibuat melalui MoU pada 13 Maret 1998 telah dihentikan dan sudah tidak berlaku lagi. Selambat-lambatnya Desember 2019, kegiatan fisik dan administrasi di lapangan harus berhenti total.
WWF Indonesia mendapat kado pahit dan memalukan dari Kementerian LHK. Lembaga konservasi besar yang merupakan bagian independen dari jaringan organisasi konservasi WWF Internasional ini tidak boleh lagi melakukan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati di kawasan hutan di seluruh Indonesia. Padahal, lembaga beraset Rp 147 miliar dengan pemasukan Rp 341 miliar pada 2018 ini memiliki 34 kantor lapangan di 17 provinsi dengan 477 karyawan, plus 100.000 lebih pendukung.
Yang lebih menyakitkan, sebelum terbitnya surat pemutusan kerja sama nomor S.1221/Menlhk-Sekjen/Rokln/Kln.0/10/2019 tertanggal 4 Oktober 2019 yang ditandatangani Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono, Menteri Siti Nurbaya juga sudah mengirim radiogram ke seluruh gubernur dan bupati/wali kota per 19 September 2019. Radiogram yang ditembuskan kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Luar Negeri itu meminta para kepala daerah tidak menjalin kerja sama dengan WWF.
Menteri Siti dalam surat yang ditandatanganinya menuliskan, “Pemerintah daerah diminta memperhatikan perkembangan kegiatan kerja sama WWF satu tahun terakhir.”
Bambang saat dikonfirmasi membenarkan surat penghentian kerja sama tersebut. Namun, dia coba berdiplomasi dengan menyebut aktivitas WWF masih berjalan sampai Desember. Bagaimana nasib selanjutnya? “Nanti, tergantung bagaimana hasil evaluasi,” jawabnya.
Padahal, penghentian kerja sama — sesuai surat S.1221/2019 yang ditandatangani Bambang — sudah menyebutkan berdasarkan hasil evaluasi awal UPT (Unit Pelaksana Teknis) dan tim Kementerian LHK.
WWF Kebablasan
Ada yang sebenarnya terjadi? Dari sejumlah penjelasan, WWF dinilai sudah “kebablasan”, misalnya dalam pembuatan MoU pembentukan Project Management Office (PMO) dengan Kantor Menko Perekonomian untuk percepatan proses Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS). Belum lagi kasus kerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua.
Belakangan, saat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) memanas, WWF malah terkesan “nyinyir”. Melalui para warrior WWF yang juga selebriti, seperti Luna Maya, WWF menggugat kerja aparat memadamkan titik api di bentang Bukit Tigapuluh, Jambi. Padahal, titik api yang diunggah para selebriti itu terjadi di konsesi PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT), konsesi hutan yang justru dikelola konsorsium WWF.
Di lain pihak, WWF Indonesia mengaku bingung dengan keputusan Kementerian LHK. “To be sure, kami tidak tahu (apa penyebabnya) karena informasi yang kami terima simpang siur. Kami berharap bisa bertemu dengan Bu Menteri dan jajarannya untuk mendapat klarifikasi,” kata Direktur Kebijakan dan Advokasi WWF Indonesia, Aditya Bayunanda, Jumat (11/10/2019).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Rudiansyah, berpendapat bahwa berdasar rujukan surat yang ditujukan kepada pemerintah daerah, harus segera dilakukan evaluasi untuk mengetahui kinerja WWF dalam upaya konservasi, khususnya di wilayah yang terbakar. Contohnya kebakaran di hutan Londerang di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, wilayah restorasi kawasan gambut terbesar di Jambi.
“Kita tidak melihat secara signifikan kerja sama itu berdampak baik, misalnya di konsesi ABT yang wilayahnya setiap tahun terbakar, terus konflik sosial dengan masyarakat di sana yang tidak dijalankan dengan baik. Artinya pertanggungjawaban mutlaknya, tidak dilakukan,” katanya, Rabu (2/10/2019).
Dalam surat yang dikeluarkan Menteri LHK, disebutkan bahwa orientasi kerja WWF menyangkut keanekaragaman hayati berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 360, dan urusan konservasi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Kemudian kepala daerah diminta untuk tidak menandatangani kerja sama dengan WWF tanpa berkonsultasi dengan Menteri LHK demi menjaga yurisdiksi dan overclaimed keberhasilan kerja sama sebagaimana yang terjadi.
Yayasan WWF Indonesia menjadi pemegang saham terbesar PT Panda Lestari, yakni 4.598 lembar senilai Rp 4.598.000.000. PT Panda Lestari adalah pemegang saham mayoritas (pengendali) PT ABT yang terbakar seluar 20 hektare. Perusahaan itu beroperasi berdasarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam (IUPHHK-Restorasi Ekosistem), dan merupakan satu-satunya pemegang IUPHHK-RE yang terbakar. Selain itu, WWF Indonesia tengah terlibat konflik sosial dengan masyarakat. Sebuah laporan polisi telah dimasukkan pada tanggal 8 September 2019, dengan dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum PT ABT terhadap masyarakat.
Beberapa pihak menilai, pemutusan kerja sama yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian LHK, merupakan kekalahan perjuangan konservasi hutan di Indonesia. Langkah yang diambil Kementerian LHK bisa jadi merupakan isyarat kepada LSM bahwa pemerintah tak segan-segan mengevaluasi kinerja mereka, yang selama ini selalu mencitrakan diri sebagai wadah kritisi masyarakat akan keberlangsungan alam, tetapi dalam praktiknya, tak melulu perihal menyelamatkan hutan.
Yang harus digarisbawahi, jika LSM hadir sebagai usaha untuk menjaga kelestarian lingkungan, komitmen untuk terus berjalan di rel yang sesuai dengan cita-cita dan harapan tersebut, merupakan harga mati.