Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), produsen pulp dan kertas terbesar kedua di Indonesia dan pendorong deforestasi terbesar di sektor ini, merilis Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, Januari 2014. Kebijakan tampaknya dibuat sebagai tanggapan langsung terhadap tekanan internasional yang diterima APRIL.
Sayangnya, perusahaan tidak benar-benar melakukan usaha apa pun untuk mengakhiri deforestasi sampai pertengahan tahun ini. Rentang waktu justru terpantau kegiatan penebangan hutan-hutan kaya karbon dan pengeringan lahan gambut, yang berujung pada hilangnya habitat satwa liar.
APRIL terus melakukan aktivitas tercela itu, dan malah berencana selama lima tahun ke depan akan terus menebang banyak hutan hujan alami Indonesia untuk pasokan pabrik mereka. Mereka telah menciptakan motivasi sesat denganbergerak cepat memotong hutan alam di konsesinya, di antaranya di Pulau Padang, lepas pantai Sumatra Utara.
APRIL meneruskan warisan deforestasi. Mereka gagal menghentikan warisan deforestasi dan perusakan habitat karenalima fakta berikut. Pertama, perusahaan masih akan menumbuhkan hutan hujan di konsesi mereka hingga akhir 2019. Kedua, akan terus membeli dari pemasok serat pihak ketiga yang mengambil sumber dari hutan hujan hingga akhir 2019. Ketiga, komitmen mengatasi lahan terdegradasi yang disebabkan oleh operasional perusahaan mewakili area hanya 5% dari luas konsesi.
Keempat, APRIL tidak membahas perampasan tanah yang sedang berlangsung dan konflik sosial yang disebabkan oleh kegiatan operasional. Kelima, APRIL hanya satu bagian dari Royal Golden Eagle Group (RGE) sehingga jika perusahaan ingin benar-benar mengurangi dampak buruk kerusakan lingkungan, rencana komprehensif harus mencakup semua aktivitas RGE, termasuk pabrik lain yang mengambil serat dari dan beroperasi di Indonesia.
Dalam sejarahnya, APRIL terus menghadapi tuduhan melakukan praktik merusak lingkungan dan antisosial selama bertahun-tahun. Perubahan sangat dibutuhkan dan janji APRIL untuk mulai menerapkan perubahan dalam enam tahundinilai tidak meyakinkan.
APRIL membantah tudingan Canopy dengan mengatakan bahwa telah terjadi kekeliruan. Pada 2015, APRIL dan Canopy telah bertemu beberapa kali untuk mengatasi masalah yang diangkat oleh Canopy dan untuk memberikan pemahaman kontekstual tentang lanskap lokal. Canopy juga mengunjungi operasional APRIL dan area restorasi.
Dalam tanggapan resminya, APRIL mengklaim bahwa semua pasokan kayu APRIL 100% legal, dapat dilacak, dan berasal dari perkebunan terbarukan yang disertifikasi berdasarkan standar manajemen hutan global dan nasional.Perusahaan tidak melakukan deforestasi dan tidak ada pengembangan lahan gambut baru di seluruh rantai pasokan, baik dari sumber sendiri atau dari pemasok. Semua pasokan kayu telah sesuai dengan kebijakan keberlanjutan APRIL.
Dalam membangun perkebunan di masa lalu, APRIL juga mengatakan hanya mengembangkan kawasan hutan yang terdegradasi berdasarkan pelaksanaan penilaian Nilai Konservasi Tinggi yang diadopsi sejak 2005. Perusahaan jugabersikukuh tidak beroperasi dengan menggunakan sumber serat dari hutan dan lahan adat.
Sementara itu, WWF menyebut bahwa sistem kerja APRIL menyebabkan konflik serius dengan masyarakat lokal, terutama hilangnya kepemilikan hutan dan lahan adat masyarakat, serta mendegradasi sumber daya alam. Dua pertiga area konsesi yang memasok APRIL di Riau terletak di lahan gambut, lalu menjadi terdegadrasi, kering, dan terdekomposisi sehingga menghasilkan emisi gas rumah kaca secara konstan. WWF juga telah mendesak perusahaan-perusahaan menghindari hubungan dan berpraktik bisnis dengan APRIL.
Atas dasar keterangan dan laporan yang dikemukakan oleh Canopy dan WWF, pembelaan serta klaim-klaim APRIL patut dipertanyakan kembali. Tidak hanya itu, kredibilitas pemasok-pemasok APRIL pun perlu diselidiki lebih jauh.Sebagai salah satu perusahaan besar, keterbukaan dan kejujuran APRIL sangat diperlukan guna menjaga stabilitas ekonomi dan masa depan hutan Indonesia.