Jakarta — Koalisi Anti Mafia Tambang menggelar petisi untuk membela dosen Institut Pertanian Bogor sekaligus ahli lingkungan dan kerusakan tanah, Basuki Wasis yang digugat secara perdata oleh tim kuasa hukum terdakwa kasus korupsi Nur Alam ke Pengadilan Cibinong.
“Kondisi ini tentu saja mengancam agenda pemberantasan korupsi dan perjuangan lingkungan hidup. Seorang ahli tidak bisa diancam karena kesaksiannya yang dia sampaikan di persidangan. Ini bagian dari serangan balik terhadap partisipasi publik dalam lingkungan hidup,” tulis Koalisi Anti Mafia dalam petisinya di Change.org.
Adapun Koalisi Anti Mafia ini terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Wahana Lingkungan Hidup, Forest Watch Indonesia, Indonesia Center for Enviromental Law, Jikalahari, Jaringan Advokasi Tambang, TII, dan Senarai.
Koalisi mengecam agar Nur Alam mencabut gugatannya dan fokus pada upaya hukum banding yang sedang berjalan. Namun jika yang bersangkutan tetap pada gugatannya maka koalisi anti mafia tambang siap mendukung Basuki Wasis, demi menjaga gerakan pemberantasan korupsi dan penyelamatan lingkungan hidup.
Tim kuasa hukum mantan gubernur Sulawesi Tenggara itu menggugat Basuki karena diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian imateriil bagi Nur Alam. Dia diminta untuk membayar kerugian sebesar Rp 3 triliun dan ganti rugi dana operasional Nur Alam sebesar Rp 1,47 miliar.
Awalnya, Basuki diminta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjadi saksi ahli dalam perkara korupsi persetujuan pencadangan wilayah pertambangan, persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) dengan terdakwa Nur Alam. Basuki Wasis mengungkapkan perkara korupsi ini mengakibatkan kerugian negara yang berasal dari musnahnya atau berkurangnya ekologis atau lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabaena sebesar Rp 2.728.745.136.000.
Keterangan ahli ini kemudian menjadi dasar bagi Nur Alam untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Cibinong. Saat memberi kesaksian itu, tim kuasa hukum Nur Alam sempat mempersoalkan Peraturan Menteri KLHK Nomor 13 Tahun 2011 yang digunakan Basuki dalam landasan penghitungan kerusakan alam.
Basuki menjelaskan penggunaan Permen itu karena kerusakan lingkungan di sana terjadi di rentang 2009-2014. Tim kuasa hukum menolak penggunaan Permen tersebut, karena sudah ada penggantinya, yaitu Permen nomor 7 tahun 2014.