Tim investigasi lapangan Rainforest Action Network mendokumentasikan bukti pembukaan baru di hutan hujan dataran rendah wilayah timur laut Kawasan Ekosistem Leuser pada Mei 2019.
Kawasan hutan yang dibuka memiliki konsentrasi keanekaragaman hayati yang diakui secara internasional sebagai habitat penting gajah Sumatra yang terancam punah dan merupakan rute migrasi gajah Sumatra menuju wilayah hutan utuh yang lebih luas yang tersisa di Indonesia.
“Para ahli satwa liar khawatir bahwa jumlah populasi gajah di kawasan tersebut lebih rendah dari yang diperlukan untuk mempertahankan populasi jangka panjang gajah Sumatra,” ungkap Leoni Rahmawati, Indonesia Communications Coordinator Rainforest Action Network dalam siaran pers, Sabtu (27/7/2019).
Untuk mencegah agar spesies ini tidak punah sangat tergantung pada usaha menghentikan deforestasi yang terjadi pada lanskap hutan hujan dataran rendah kritis yang membentang melalui kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Utara, Aceh Tamiang hingga melintasi perbatasan Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara.
Kerusakan hutan terjadi terjadi di lahan yang dialokasikan untuk tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit: PT. Nia Yulided, PT. Indo Alam dan PT. Tualang Raya.
Ketiga perusahaan tersebut dimiliki oleh pengusaha Aceh.
PT Nia Yulided, perusahaan yang tercatat melakukan pembukaan lahan terbesar dan mendapatkan izin sejak Januari 2019 tersebut merupakan milik Dedi Sartika, menantu Tarmizi A Karim, mantan Gubernur sementara Aceh.
Kemudian bukti adanya pembukaan lahan aktif oleh PT Tualang Raya di wilayah koridor gajah Sumatra, 16 Mei 2019.
Ketiga, adanya pembukaan lahan aktif menunjukkan ekspansi perkebunan kelapa sawit di habitat gajah Sumatra oleh PT. Indo Alam pada 20 Mei 2019.
International Union for the Conservation of Nature (IUCN) memperkirakan saat ini hanya sekitar 700-1000 gajah Sumatera tersisa di seluruh Sumatera, dimana sekitar 200 ekor bertahan hidup dan sangat bergantung pada hutan hujan dataran rendah dimana pembukaan hutan tersebut terjadi.
Satwa terancam punah yang tersisa ini semakin terisolasi, terpisah satu sama lain hingga terputus dari rute migrasi mereka karena fragmentasi hutan dan terkepung aktivitas pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan wilayah hutan hujan dataran rendah ini menyusut.
Hilangnya 70% habitat gajah Sumatra sejak tahun 1985 telah memicu peningkatan konflik manusia dengan satwa liar hingga mengakibatkan satwa dilindungi ini dibunuh karena dianggap sebagai hama oleh warga atau terjebak dalam perangkap yang ditempatkan oleh pemburu liar di samping kebun masyarakat atau perkebunan kelapa sawit.
Pada bulan September 2018, instruksi presiden diberlakukan untuk menghentikan penerbitan izin baru pembukaan lahan untuk minyak kelapa sawit dan meninjau kembali izin perusahaan minyak kelapa sawit yang ada.
Namun bukti terbaru pembukaan lahan ini menunjukkan perlunya intervensi pemerintah untuk menegakkan moratorium dengan memberlakukan sanksi kepada PT. Nia Yulided dan mendapatkan komitmen dari PT. Indo Alam dan PT. Tualang Raya.
Perusahaan ini harus melindungi kawasan hutan tersisa di wilayah konsesi kelapa sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan hujan kritis yang menjadi habitat gajah.