Selain wujudnya menggemaskan, panda terkenal sebagai hewan yang hanya makan bambu. Bentuk tengkorak, gigi, dan bahkan kaki mereka telah mengalami adaptasi morfologis untuk membantu mengumpulkan dan memproses tanaman berserat yang keras.
Meskipun panda raksasa modern (Ailuropoda melanoleuca) mengunyah hampir secara eksklusif pada bambu di hutan pegunungan di Tiongkok tengah, sejarah menu makanan hewan keluarga beruang ini ternyata jauh lebih beragam.
Dalam laporan yang dipublikasikan di Current Biology, analisis menggunakan tanda kimia khas dari tulang dan gigi panda purba dan modern menunjukkan bahwa ketergantungan makanan pada bambu bisa saja baru berkembang sekitar 5.000 tahun lalu. Lebih baru ketimbang yang diasumsikan sebelumnya berdasarkan data molekuler dan paleontologi.
Studi sebelumnya menempatkan transisi panda dari karnivora (seperti beruang lain) ke spesialis pemakan bambu sekitar dua juta tahun yang lalu, atau pada akhir Pleistosen.
Panda masih berstatus hewan rentan punah, meski jumlahnya perlahan-lahan meningkat. Diperkirakan ada 1.600 panda raksasa yang hidup di alam liar saat ini dan 300 di kebun binatang dan pusat pembiakan di seluruh dunia.
Para ahli belum mengetahui hingga usia berapa panda raksasa bisa bertahan di alam liar. Tetapi panda tertua yang dipelihara di penangkaran sejauh ini berusia 38 tahun.
Makanan panda liar adalah 99 persen bambu, sisanya terdiri dari tikus kecil. Panda raksasa perlu mengonsumsi sekitar 10 hingga 20 kg bambu setiap hari untuk mendapatkan nutrisi yang mereka butuhkan.
Tetapi mereka memiliki usus pendek dan mikrobiom yang tidak cocok untuk mencerna bahan tanaman. Ini menunjukkan mereka awalnya berevolusi dari nenek moyang karnivora yang sudah punah.
“Sudah diterima secara luas bahwa panda raksasa telah memakan bambu secara eksklusif untuk waktu yang lama, tetapi hasil kami menunjukkan yang sebaliknya,” kata Fuwen Wei, ahli ekologi satwa liar Institute of Zoology di Chinese Academy of Sciences, Beijing. “Itu membuat kami bersemangat.”
Sulit untuk menilai jenis makanan hewan yang sudah lama punah. Tetapi analisis isotop yang stabil mengungkapkan pola yang dapat memberikan petunjuk. Hal ini melibatkan pemeriksaan berbagai bentuk elemen yang sama yang mengandung jumlah proton yang sama tetapi jumlah neutron yang berbeda.
Untuk memahami jenis makanan spesies yang punah itu, Wei dan rekan-rekannya menganalisis tanda kimia khas di tulang 12 panda purba yang hidup hingga sekitar 5.000 tahun yang lalu. Fosil tulang-tulang itu diambil dari tujuh situs arkeologi di selatan dan barat daya Tiongkok.
Mereka membandingkannya dengan rasio karbon dan nitrogen dari sampel kolagen dan gigi dari panda modern, dan mamalia lain dari daerah yang sama yang dikumpulkan antara tahun 1970 dan 2000-an.
Analisis menunjukkan semua spesies panda hidup dengan jenis tanaman C3 murni–kelompok tanaman paling umum yang khas hutan–selama 2 juta tahun terakhir. Tetapi isotop nitrogen di tulang dan gigi kelompok modern dan purba jelas berbeda.
“Panda modern yang hanya memakan bambu memiliki isotop nitrogen yang sangat rendah, tetapi panda purba memiliki kadar yang sangat tinggi sama dengan herbivora,” kata Wei. Ini menunjukkan panda purba memiliki jenis makanan yang jauh lebih beragam daripada panda sekarang ini.
Temuan juga mengindikasikan mereka mungkin hidup di habitat yang lebih beragam, seperti zona sub-tropis dan pinggiran hutan. Mendukung catatan arkeologis dari selatan ke Tiongkok utara atas penemuan sejumlah fosil.
Tidak jelas kapan atau mengapa panda raksasa menjadi pemakan bambu hampir secara eksklusif. Meskipun ada sedikit campuran makanan lain seperti rumput atau daging pada menu panda yang hidup di alam liar.
Untuk dapat mengetahuinya, tim peneliti berharap dapat mempelajari lebih banyak fosil panda.
“Kita perlu mendapatkan lebih banyak sampel dari tahun yang berbeda setelah 5.000 tahun yang lalu, tetapi sulit untuk melakukan ini,” kata Wei. Ia mengatakan ada kemungkinan peralihan muncul sebagai adaptasi terhadap jangkauan tempat tinggal yang menyusut, “tetapi kita tidak tahu alasan pastinya”.
“Mungkin itu adalah (campuran) faktor perubahan iklim yang rumit, perambahan manusia dan kompetisi antarspesies atas sumber daya,” pungkas Wei.