Kasus jerat berujung maut bagi induk Harimau Sumatera dan dua janin di kandungannya yang terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) akhir September 2018 lalu mulai memasuki babak akhir.
Dalam persidangan, pelaku Falalini Halawa dinyatakan terbukti bersalah oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan menuntut majelis hakim memvonisnya empat tahun enam bulan penjara.
JPU dari Kejaksaan Negeri Kuansing, Mochamad Fitri Adhy saat dikonfirmasi menyebut, tuntutannya itu dibacakan pada 12 Februari 2019 lalu di pengadilan negeri setempat. Dia juga meminta hakim menjatuhkan vonis denda Rp100 juta dengan hukum subsider enam bulan kurungan.
“Terdakwa dinilai sengaja melakukan perbuatan menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, satwa yang dilindungi, sebagaimana diatur Pasal Pasal 40 Ayat (2) Jo. Pasal 21 Ayat (2) huruf a Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,” terang Adhy.
Usai tuntutan ini, majelis hakim yang diketuai oleh Reza Himawan Pratama memberikan waktu seminggu kepada terdakwa untuk melakukan pembelaan atau pledoi.
Dalam tuntutan Adhy, ada beberapa hal yang memberatkan terdakwa. Di antaranya, pelaku Falani Halawa mengetahui perbatasan Desa Pangkalan Indarung dan Muara Lembu merupakan habitat harimau dan tahu datuk belang sering melintas di sana.
Masyarakat juga sudah memperingatkan terdakwa tapi diabaikannya. Diapun memasang beberapa jerat dari ukuran kecil hingga besar dari kawat baja bekas rem motor, lalu menyebarnya ke beberapa titik di hutan.
“Katanya untuk menjerat babi yang sering masuk kebun sawit tapi dilihat dari ukuran serta tinggi jerat, patut diduga untuk harimau,” disebut Adhy.
Jerat itu dihadirkan ke persidangan sebagai barang bukti, dua karung berisi bulu landak, empat jerat dari nilon, foto-foto induk harimau serta dua janin siap dilahirkan.
“Jadi terdakwa juga sering menangkap landak untuk dimakan, padahal landak juga masuk hewan dilindungi,” tegas Adhy.