Kehidupan biota laut harus dijaga. Perubahan iklim yang menyebabkan terganggunya biota di laut akan berdampak pada gangguan ekosistem di darat.
SURABAYA – Perubahan iklim yang mengakibatkan terganggunya ekosistem di laut akan berdampak pada kehidupan di darat. Perubahan iklim yang menyebabkan kadar oksigen di laut menurun tentu akan mengganggu kehidupan biota laut. “Terganggunya keseimbangan ekosistem laut akan banyak pengaruhnya pada kehidupan di darat,” kata pakar kelautan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Haryo Armono, kepada Koran Jakarta, Rabu (10/1).
Apa yang disampaikan Haryo ini menanggapi studi yang terbit dalam jurnal Science edisi 5 Januari 2018. Dalam studi itu disebutkan perubahan iklim, membuat kadar oksigen di dalam lautan menurun. Tentunya, ini mengancam ekosistem di laut. Rantai makanan dan biota laut yang membutuhkan oksigen jelas akan terganggu.
Dari studi itu terungkap bahwa wilayah laut terbuka yang minim oksigen meningkat empat kali lipat. Hal itu juga terjadi di wilayah muara, teluk, dan pesisir, sejak 1950. Studi berjudul Declining Oxygen in the Global Ocean and Coastal Waters itu menjelaskan suhu permukaan air naik. Suhu panas ini menyerap oksigen di permukaan. Lebih jauh, Haryo mengatakan perubahan iklim tidak hanya menyebabkan berkurangnya sumber makanan, tapi juga soal penguraian limbah. Selama ini banyak limbah di lautan, baik kimia atau biologis, tidak sedikit yang berasal dari daratan.
Sulit Terurai
Pada kondisi normal, tambah Haryo, limbah di laut lebih sulit terurai dibanding di darat. Saat ekosistem laut terganggu akan menjadi lebih sulit lagi. Kondisi ini akan meningkatkan risiko polusi, keracunan, dan kanker. Artinya, ini menjadi ancaman kesehatan bagi manusia. “Selain mengurangi faktor-faktor yang dapat menyebabkan pemanasan global, upaya juga dapat dilakukan dengan menjaga kehidupan biota laut yang dapat menghasilkan oksigen, antara lain dengan menjaga kehidupan tumbuhan laut dan terumbu karang,” kata Haryo.
Sebelumnya, pakar lingkungan dari ITS Surabaya, Warmadhewanti, menyampaikan seluruh pihak dengan dorongan pemerintah harus menyadari potensi bahaya dampak perubahan iklim, utamanya menyusutnya kadar oksigen dalam laut. Ekosistem laut memegang peranan sangat penting dalam keseimbangan alam.
Bila terganggu, otomatis ekosistem yang lain juga akan terdampak. “Pencegahannya sangat penting, karena ini sifatnya sangat global, tidak bisa hanya dilakukan oleh beberapa negara saja. Soal aturan sebenarnya negara kita sudah cukup lengkap, baik yang tujuannya untuk upaya mitigasi, adaptasi, sampai rencana aksi nasional dalam mengantisipasi anomali iklim ini,” kata Warmadhewanti.
Menurut Warmadhewanti, yang selalu jadi masalah di negara ini adalah menerapkannya. Paling sulit adalah ketegasan pemerintah mendorongnya, karena masih mengutamakan alasan ekonomi dan semacamnya. Namun, ini bukan tugas pemerintah semata karena untuk keselamatan lingkungan sebenarnya yang harus menjadi agent of change adalah masyarakat.
“Bagaimana menghemat listrik, membuang sampah tidak sembarangan, sampai soal transportasi. Karena faktor penyebab perubahan iklim paling besar adalah polusi akibat transportasi,” kata Warmadhewanti. Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Oni Mahardika, mengatakan masalah terbesar di Indonesia adalah model perencanaan pembangunan yang justru merusak alam.
Tak hanya di hutan, tapi juga di lautan. Wilayah tangkap, konservasi, budi daya, investasi tambang, reklamasi, semua berdiri sejajar dan bisa saling mengacuhkan. Jika memang dirasa keuntungan ekonominya besar, pertimbangan lingkungan sangat mudah diabaikan. Yang paling kasat mata, tambah Oni, secara umum bisa dilihat bahwa situasi laut Indonesia agak kritis karena infrastruktur pembuangan industri selalu dialirkan ke laut. Kawasan industri strategis nasional pembuangan limbahnya dialirkan di laut, hampir semua limbah Jakarta dialirkan ke laut. Begitu pula di banyak kota di Indonesia.