Pengesahan Undang-Undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berbuntut polemik panjang. Pengesahan beleid tersebut bukan hanya memicu demonstrasi besar-besaran mahasiswa, tetapi juga intrik internal Presiden Joko Widodo dan partai pendukungnya.
Jokowi didesak untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK. Kabar terkait penerbitan Perppu tersebut muncul setelah Jokowi bertemu dengan beberapa tokoh nasional, di antaranya Mahfud MD.
“Soal UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali diberikan pada kita, utamanya masukan berupa penerbitan Perppu. Tentu akan kita hitung, setelah kita putuskan, akan kami sampaikan,” ujar Jokowi usai pertemuan, seperti dikutip CNN Indonesia.
Bukan tanpa alasan Jokowi mempertimbangkan usulan para tokoh nasional untuk menerbitkan Perppu. Desakan publik begitu kuat pasca pengesahan undang-undang antirasuah tersebut. Ribuan mahasiswa di beberapa daerah turun ke jalan, sampai jatuh korban meninggal dunia dan luka-luka. Media sosial pun diwarnai dukungan menolak UU KPK.
Jokowi membenarkan bahwa alasan politik menjadi pertimbangan penerbitan Perppu KPK. Perppu dianggap menjadi benteng terakhir untuk menyelamatkan KPK dan mengakhiri kontroversi yang selama ini terjadi.
Revisi UU KPK dinilai bermasalah antara lain karena keberadaan pasal yang mengatur pembentukan Dewan Pengawas KPK. Dewan Pengawas lebih berkuasa ketimbang pimpinan KPK karena kewenangannya masuk ke ranah penyidikan kasus korupsi yang tengah ditangani. Kemungkinan operasi tangkap tangan (OTT) juga semakin menyempit karena aturan izin penyadapan dari Dewan Pengawas.
Adanya ketentuan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus yang belum tuntas selama dua tahun juga dinilai menghambat kinerja KPK. Selama ini KPK menangani kasus sampai bertahun-tahun, dan tidak ada kewenangan SP3. Masalah lain bila kasus korupsi yang ditangani KPK adalah kasus lintas negara.
Pasal lain menyebut, KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara. Padahal, selama ini KPK berhasil mengungkap kasus korupsi sampai ke daerah. Faktanya, banyak kepala daerah yang terciduk KPK.
Yang juga menimbulkan kontroversi adalah pasal tentang tidak adanya penyelidik dan penyidik independen. Selama ini selain dari kejaksaan dan kepolisian, KPK juga memiliki penyidik independen. Larangan keberadaan penyelidik dan penyidik independen akan semakin mempersempit terungkapnya kasus korupsi di dua lembaga hukum tersebut dan tidak menutup kemungkinan di institusi pemerintah lainnya.
Pasal-pasal kontroversial tersebut dinilai rentan melemahkan, bahkan mematikan fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi. Itu sebabnya Jokowi didesak untuk segera menerbitkan Perppu sebagai upaya untuk menyelamatkan KPK.
Presiden Harus Tegas
Rencana mantan Wali Kota Solo tersebut menerbitkan Perppu dihadang oleh partai pendukungnya. Surya Paloh, Ketua Umum Partai Neasden, mengatakan ada celah pemakzulan atau impeachment presiden, bila Perppu tersebut diterbitkan.
Namun, ucapan Surya Paloh tersebut dibantah oleh para ahli hukum tata negara. Pasalnya, tidak ada aturan yang menulis bahwa presiden dan wakil presiden dapat dimakzulkan karena menerbitkan Perppu.
PDIP, partai yang menjadi kendaraan Jokowi menuju kursi presiden, juga menentang rencana penerbitan Perppu tersebut. Politisi PDIP, Hendrawan Supratikno, menilai rencana tersebut terlalu terburu-buru dan dipaksakan, dan pihak-pihak yang mendesak penerbitan Perppu belum membaca secara keseluruhan isi Perppu.
Menurut Hendrawan, untuk melihat kembali UU KPK tersebut, tetap melalui judicial review dan legislative review. Waktunya memang cenderung lebih lama, tetapi prosesnya lebih sehat.
Bukan perkara mudah bagi Jokowi untuk mengambil keputusan. Di satu sisi ia menghadapi tekanan partai pendukung, di sisi lain desakan menguat di masyarakat. Jokowi harus bijak dan mengambil keputusan yang tepat.
Perppu bisa jadi adalah peluru terakhir yang bisa dilepaskan Jokowi untuk meredakan ketegangan ini dan meraih kembali kepercayaan publik yang sudah memudar. Pekerjaan besar menanti Jokowi di periode kedua. Jika Perppu tersebut tak terbit, komitmen pemberantasan korupsi di periode kedua layak dipertanyakan.