Selain gajah, salah satu penghuni hutan hujan tropis lainya yang menjadi perhatian akibat ancaman kepunahan ialah orangutan tapanuli. Meski telah ditetapkan sebagai spesies baru pada tahun 2017 lalu, jumlah populasinya akan semakin berkurang pada tahun 2018.
Wisnu Soemantoro, pemerhati satwa dari World Wildlife Fund (WWF) mengatakan jika penyebab menurunnya satwa yang memiliki nama latin Pongo tapanuliensis adalah laju kerusakan hutan di Batang Toru yang tak terkendali.
Awalnya, tutupan hutan Batang Toru di Sumatera Utara memiliki hutan primer seluas 133.000 hektare. Akan tetapi, jumlahnya terus berkurang. Saat ini, zona inti hutan diperkirakan hanya tersisa 97.000 hektare.
“Pada tahun 2017, jumlah orangutan tapanuli hanya 800 ekor. Habitat yang semakin rusak, ditambah perburuan ilegal, semakin membuat satwa tersebut terdesak,” jelas Wisnu, Senin (8/1), saat dihubungi Trubus.id melalui telepon.
Kehidupan orangutan tapanuli bergantung pada hutan sebagai plasma nutfah. “Ketika hutan rusak, habitat mereka mudah stres dan kemudian sakit,” ujarnya.
Selain itu, penyebab menurunnya populasi adalah perburuan liar yang kian marak terjadi. Sebelum ditetapkan oleh peneliti Universitas Zurich, Universitas John Moores Liverpool, dan Sumatran Orangutan Conservation Programme sebagai spesies baru di Jurnal Current Biology, orangutan tapanuli masih dianggap sebagai hama.
Setelah ditetapkan menjadi spesies baru dan dipublikasikan, malah mendorong permintaan dari luar negeri. Itulah kenapa, perburuan ilegal orangutan tapanuli saat ini bukan lagi untuk dibasmi lantaran dianggap hama, melainkan diselundupkan ke luar negeri. Dari beberapa negara, Thailand menjadi pasar yang besar untuk perdagangan orangutan tapanuli.
“Seharusnya, pemerintah bisa memanfatkan momen penelitian tahun lalu, sehingga lebih responsif melakukan usaha perlindungan,” ucap Wisnu.