Program Konservasi Hutan Tropis Sumatera atau Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) tampaknya belum berhasil menyelamatkan hutan khususnya di kawasan Sumatera Utara.
Program penyelamatan lingkungan yang berasal dari skema pengalihan utang (debt-swap) antara Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat ini belum memberikan dampak yang nyata. Padahal program ini menyiapkan dana 30 juta dollar AS pada tahap pertama dan 12,8 juta dollar AS pada tahap keduanya.
Sekretaris Jenderal Komunitas Peduli Hutan Sumatera Utara (KPHSU), Jimmy Panjaitan mengatakan, program TFCA untuk kawasan hutan di Sumatera Utara belum menunjukkan kinerja yang semestinya. Berdasarkan fakta, deforestasi hutan di Sumatera Utara dalam kurun waktu delapan tahun ini cenderung meningkat terutama di landscape project TFCA Sumatera.
“Kita lihat saja, deforestasi hutan terutama di kawasan landscape project-nya TFCA ini meningkat. Banyak kawasan hutan yang dikonversi menjadi perkebunan monokultur,” katanya. Selasa (28/11).
“Selain itu, konflik antara satwa hutan dengan masyarakat sekitar hutan angkanya terus naik,” sambung Jimmy.
Jimmy juga mencontohkan, baru saja mati anak gajah Sumatera di Kecamatan Batangserangan, Kabupaten Langkat, akibat kawanan-nya memasuki permukiman warga yang letaknya berbatasan dengan kawasan hutan. Lebih mirisnya lagi, pada pilot project area TFCA menjadi industri ekstraktif terutama di areal pertambangan emas di wilayah Hutan Batangtoru dan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).
“Kawasan Hutan Batangtoru dan TNBG saat ini sedang massif industri ekstraktif, contohnya tambang emas,” jelasnya.
Jimmy juga mengungkapkan bahwa laporan TFCA Sumatera tidak jelas mengenai jumlah penurunan tutupan hutan di Sumatera Utara. Angka tutupan hutan menjadi sangat penting untuk menentukan upaya apa yang harus diambil selanjutnya.
“Seharusnya TFCA Sumatera, baik Coservation Internasional dan Yayasan Kehati selaku partner bisa lebih cermat melihat permasalahan lingkungan, khususnya di Sumut,” ungkapnJimmy.
Hal senada juga dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Kebijakan (ELSAKA) Bekmi Darusman Silalahi, yang menilai project TFCA Sumatera di Wilayah Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) belum pernah disentuh dan tidak ada sama sekali upaya konservasi. Dirinya juga menduga bahwa TFCA Sumatera tidak berani memasuki wilayah Angkola karena kompleks-nya persoalan lingkungan di sana.
“Kawasan Angkola, sampai sekarang belum ada disentuh atau ada upaya konservasi. Kita menduga TFCA Sumatera tidak berani masuk karena masalah lingkungan yang sangat kompleks berada disana,” ucapnya.
Bekmi juga menuturkan, Sumatera Utara memiliki hutan seluas 3,05 juta hektare, sesuai SK Menhut Nomor 579 Tahun 2014. Dimana, hampir di seluruh hamparannya ada tanaman endemik yang keberadaannya terancam hilang yaitu kemenyan (hamijon). Hutan kemenyan seluas 631.355 hektare, dikelola oleh masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan sebagai sumber penghasilannya.
“Kemenyan atau hamijon hanya tumbuh di hutan yang memang lestari, sifat kemenyan tidak merusak ekosistem lain dalam hutan. Seharusnya, ini yang menjadi salah satu fokus program TFCA,” pungkasnya.