Para pengunjuk rasa Hong Kong juga memakai teknologi dalam upaya menghindari pengawasan dan kemungkinan menghadapi tuntutan hukum di masa depan. Mereka menonaktifkan pelacakan lokasi di telepon genggam, membeli tiket kereta api dengan uang tunai, dan menghapus percakapan di media sosial.
Sebagian besar dari mereka yang berada di jalanan masih muda usia dan tumbuh di dunia digital. Mereka merasa terganggu dengan pengawasan siber dan takut meninggalkan jejak online. Belakangan ini demonstran mengenakan topeng, kacamata, helm atau topi untuk melindungi diri dari gas air mata, semprotan merica, tembakan peluru karet, dan juga untuk mempersulit identifikasi.
Banyak sumber mengatakan, mereka mematikan aplikasi pelacakan lokasi di ponsel. Mereka meningkatkan pengaturan privasi digital sebelum bergabung dalam protes, dan segera menghapus percakapan dan foto di media sosial dan aplikasi pesan usai berdemonstrasi.
Tampak antrean panjang yang luar biasa di depan mesin tiket di stasiun metro bawah tanah kota. Pengunjuk rasa memilih menggunakan uang tunai untuk membeli tiket daripada memanfaatkan kartu Octopus di kota itu karena pergerakannya dapat lebih mudah dilacak.
Para pengunjuk rasa di Hong Kong menggunakan laser untuk membutakan pasukan keamanan dan menghindari kamera pengenal wajah yang digunakan oleh pihak berwenang. Sebuah video yang diposting oleh jurnalis lepas Alessandra Bocchi mengungkapkan taktik yang digunakan terhadap kamera polisi, sementara video terpisah yang disiarkan BBC menunjukkan para pengunjuk rasa mengarahkan laser ke wajah-wajah petugas.
Para pengunjuk rasa menggunakan sejumlah trik teknologi untuk tetap bisa berada di depan pihak berwenang, seperti menggunakan jaringan pribadi virtual pada ponsel mereka untuk menyembunyikan identitas.
Metode Digitalisasi Demonstran
Di kota di mana WhatsApp biasanya menjadi raja, pengunjuk rasa telah beralih ke aplikasi pesan terenkripsi Telegram dalam beberapa hari terakhir. Mereka percaya bahwa Telegram dapat memberi perlindungan siber yang lebih baik dan juga karena memungkinkan kelompok yang lebih besar untuk berkoordinasi.
Para demonstran yang berbicara dengan media, hanya bersedia memberikan nama depan atau belakang mereka karena sensitivitas subjek, dan semuanya mengenakan topeng. Penggunaan topeng sebenarnya justru membuka ruang bagi para perusuh, di sisi lain menjadi lebih sulit mengidentifikasi siapa yang benar-benar adalah demonstran dan yang mana yang bukan. Alangkah lebih bijak jika mereka benar-benar merasa sebagai demonstran yang legal, tak masalah turun ke jalan tanpa menggunakan topeng.
Selain telegram, banyak juga dari mereka yang merambah aplikasi lain seperti Twitch. Sebelumnya mereka telah menyiasati aksi protes dengan mengajak demo menggunakan aplikasi kencan online Tinder. Mereka meminta siapa saja yang melihat profilnya untuk swipe kanan dan bergabung dengan gerakan oposisi.
Demonstran Hong Kong juga memanfaatkan Pokemon GO dalam upaya mengelabui polisi. Bila tertangkap basah tengah berkumpul, mereka akan beralasan sedang menangkap pokemon.
Diketahui juga bahwa informasi tentang gerakan demonstran disebarkan melalui AirDrop ke setiap orang asing yang menyalakan layanan seluler Apple di sekitar mereka. Dengan AirDrop, pengguna iPhone bisa mengirim foto dan catatan secara instan kepada orang lain tanpa diketahui banyak orang.
Metode lain adalah dengan memosting tulisan di forum seperti LIHKG (Reddit versi Hong Kong) dan mengunggah video bernada ajakan di Douyin (Tiktok versi Cina).
Terlepas dari digitalisasi masif para demonstran Hong Kong dalam berorasi, alasan yang patut digarisbawahi adalah, “mereka mencoba berlari dan bersembunyi dari penegakan hukum”. Selain itu, penggunaan topeng juga mengisyaratkan secara langsung bahwa mereka tidak bertindak sebagai seorang demonstran, melainkan “perusuh yang seolah-olah melakukan demonstrasi”.