Ibu Kota Inggris sedang dilanda kecemasan. Aktivis perubahan iklim radikal mengacak-acak kota. Taktik pilihan mereka: penghancuran harta benda, dan pemblokiran jalan raya dan opsi transportasi yang menjengkelkan.
Pemerintah setempat menyebut mereka teroris lingkungan, sedangkan kelompok itu dengan bangga mengampanyekan nama Extinction Rebellion. Mereka mengklaim diri sebagai kelompok pencinta lingkungan yang mempromosikan pembangkangan sipil untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya perubahan iklim yang akan terjadi. Mereka menegaskan bahwa ini akan menjadi generasi manusia terakhir yang hidup di planet Bumi sebelum kepunahan massal terjadi.
Untuk itu, pemerintah harus memberlakukan langkah-langkah kebijakan yang mengikat secara hukum untuk mengurangi emisi karbon. Tuntutan dari mereka sebenarnya sederhana. Tak jauh beda dengan apa yang diinginkan para aktivis lingkungan “konvensional” selama ini.
Yang mengherankan publik, kelompok itu dengan gagah mengampanyekan pengurangan emisi karbon hingga ke titik 0. Ide yang bahkan oleh siswa sekolah tingkat dasar pun akan mendapat berondongan pertanyaan kritis.
Mungkin niatan mereka adalah mengurangi ketergantungan manusia terhadap teknologi sehingga proses kehidupan akan berlangsung dalam laju ekspansi yang lebih lambat dari sekarang, termasuk ekspansi dalam mengeksploitasi alam. Namun, bila semua tujuan itu dilakukan dengan cara meniadakan emisi karbon sama sekali, jelas merupakan impian yang tak wajar, bila tidak ingin dikatakan gila.
Di sisi lain, Inggris dikenal sebagai salah satu negara yang punya komitmen tinggi dalam pengendalian emisi. Yang paling diingat publik adalah bagaimana tahun lalu, pihak terkait mengumumkan bahwa Inggris telah berhasil memproduksi listrik tanpa bahan bakar batu bara. Negeri itu ditenagai lebih dari seribu jam tanpa batu bara.
Suplai listrik Inggris ditopang duet maut tenaga angin dan tenaga gas. Dalam fenomena itu, ada secuil informasi menarik, yakni bagaimana pemerintah terpaksa harus mengaktifkan delapan pembangkit listrik batu bara terakhir di Inggris karena harga harga gas impor Rusia yang mahal.
Namun, ketergantungan Inggris terhadap batu bara hanya berlangsung singkat. Sepanjang 2017 sebanyak 624 jam bebas batu bara berhasil dicapai, naik dari 210 jam pada 2016, hingga 1.000 jam pada 2018. Padahal, tahun 2012 PLTU Inggris memasok dua perlima listrik, tetapi pada 2018 sejauh ini hanya menyediakan kurang dari 6%.
Dengan kondisi itu, pemerintah Inggris berkeputusan akan menutup PLTU Eggborough di Yorkshire dan satu lagi PLTU Kilroot di Irlandia Utara. Jadi, Inggris Raya hanya akan punya enam pabrik batu bara yang tersisa.
Fakta ini tentu membuat publik mempertanyakan maksud dari kelompok semacam Extinction Rebellion. Apalagi publik global kadung mengenal CarbonTracker, LSM lingkungan dari Inggris yang lebih dahulu punya nama dan reputasi dalam perjuangan pengurangan emisi karbon dunia.
Apakah ER akan menjadi antitesis dari LSM semacam CarbonTracker, atau malah ER akan menyerang LSM-LSM yang mereka anggap “kurang progresif” dan gampangan menjadi tempat greenwash perusahaan-perusahaan besar?
Yang menarik, tahun ini kelompok semacam ER tak hanya membuat pusing Inggris. Nan jauh di selatan Amerika, kelompok aktivis lingkungan garis keras mengaku telah meledakkan bom di bundaran di Santiago, Cile. Bom itu melukai pasangan suami istri yang sedang menunggu bus. Keduanya harus dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan serius.
Kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas ledakan itu adalah teroris lingkungan yang dikenal sebagai Individualistas Tendientes a lo Salvaje (Individu Cenderung Liar), atau ITS, kumpulan sel yang longgar, masing-masing bertindak sendiri-sendiri, dan masing-masing tersembunyi di wilayah yang luas. Medan di Amerika Latin: pegunungan, lembah, hutan, kota yang membentang dari Meksiko ke Argentina.
Tujuan mereka mudah ditebak: menghancurkan dunia yang terobsesi dengan teknologi, didorong oleh teknologi, dan mengembalikan manusia untuk hidup sebagai kelompok pemburu-pengumpul. Mereka percaya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita dari semacam kiamat yang dipaksakan.
ITS pertama kali membuat berita pada 2013 ketika mereka mengirim bom ke para ilmuwan di Amerika Latin. Secara khusus, mereka menargetkan para peneliti nanoteknologi dan mengobarkan perang terhadap universitas dan ilmuwan Meksiko. Tak ketinggalan, mereka juga membuat beberapa ancaman terhadap pertemuan G20 di Osaka.
Aksi ER maupun ITS tentu mengingatkan publik atas sepak terjang Joe Dibee. Aktivis lingkungan kawakan yang merupakan mantan pegawai Microsoft itu ditangkap di Kuba dan diekstradisi ke Amerika Serikat. Dibee dicurigai otoritas setempat melakukan kampanye lingkungan yang ujung-ujungnya mengganggu ekonomi negara. Target utama adalah Venezuela yang merupakan sekutu dekat Havana.
Lebih dari satu dekade sebelumnya, polisi dan agen FBI telah menangkap selusin rekanan Dibee di Front Pembebasan Hewan dan Front Pembebasan Bumi dalam rentang waktu beberapa bulan. Mereka dituduh bersekongkol untuk membakar pabrik-pabrik yang menyembelih hewan untuk diambil daging, pabrik kayu yang mengganggu ekosistem sensitif, fasilitas pemerintah yang mengusir kuda liar, dan sebuah resor ski yang bertengger di puncak gunung yang masih asli.